Kamis, 29 Oktober 2009

Kue Pengantin Betawi: Pantangan Dilanggar, Kue Pengantin Gagal



Pelestarian kuliner nusantara memerlukan kepedulian generasi muda. Hal itu disadari oleh pasangan suami-istri Nawiyah (35) dan Ahmad Rido (40). Mereka meneruskan usaha sang ibu (almarhumah) Hj Idop dalam membuat jajanan hantaran Kue Pengantin Betawi, seperti kue geplak, kue wajik, kue lapis pepe, uli, tape ketan, dan dodol betawi.

Beberapa jenis kue memang sering kita lihat di pasar, seperti kue pepe (kue lapis dari tepung sagu), tape, dan ketan uli. Namun untuk geplak dan dodol sudah agak jarang yang membuatnya. Mungkin karena tingkat kesulitannya tinggi dan banyak tata cara dalam membuat panganan tersebut.

Hanya dodol yang paling sering dibuat, meski tidak ada pesanan. Paling tidak dua hari sekali Edo memproduksinya dan dijual per kilogram. Kemasannya sengaja dibuat tidak terlalu besar. Pada bulan Puasa, 15 hari menjelang Lebaran pembuatan dodol mulai meningkat. Adapun pesanan sudah harus dilakukan sebulan sebelumnya.

Usaha pembuatan kue pengantin hantaran khas Betawi ini dirintis Idop pada tahun 1987. Mulanya hanya coba-coba. Saat ada yang mau hajatan lalu minta dibuatkan kue pengantin, Idop menyanggupinya. Lama kelamaan, itu menjadi usaha yang serius.

Dari ketiga anak Idop, hanya Nawiyah yang mengembangkan bakat membuat kue pengantin tersebut. Sebagai penerus, Nawiyah mengembangkan usaha ini dibantu sang suami. "Pesan ibu cuma satu, yaitu harus menjaga kualitas dan memberikan layanan yang terbaik untuk pelanggan. Kami harus selalu ramah juga," ujar ibu empat anak ini.

Pantangan dan tata cara selama pembuatan kue pengantin Betawi juga harus diikuti. Meski agak sulit diterima akal, imbuh Nawiyah, hal itu bisa menggagalkan pembuatan kue pengantin jika dilanggar.

Seperti pada saat membuat dodol, biasanya ada "syaratnya" yakni disiapkan cabai merah dan bawang yang ditusuk dengan lidi, serta uang logam Rp 500 yang direndam di dalam air. Selama bahan dodol masih berbentuk adonan, si pengaduk tidak boleh punya pikiran negatif atau membicarakan yang jelek-jelek, tidak boleh banyak berbicara, tidak boleh kesal. Mendengar berita buruk seperti ada orang yang meninggal juga tidak diperbolehkan. "Makanya saya suka kejam sama anak kecil. Kasarnya mereka enggak boleh dekat-dekat kalau lagi membuat adonan," kata Rido.

Kebanyakan pembuat dodol memang laki-laki. Soalnya, butuh tenaga lumayan besar saat pengadukan. Dodol dimasak dalam kuali besar di atas bara arang. Diaduk dengan kayu yang berbentuk seperti dayung. Kalau hanya setengah kuali bisa dikerjakan dua orang, tetapi kalau penuh, paling tidak harus ada tiga orang yang mengerjakannya.

Rido menuturkan, kue pengantin (dodol) itu disebut juga dengan kue bacot (dalam bahasa Betawi artinya pembicaraan). Jika seorang besan datang dengan dodol yang bagus dan banyak jumlahnya, berarti termasuk orang kaya. Kalau dilihat tampilan dodolnya kurang baik maka akan jadi bahan pembicaraan pula. Ada-ada saja

kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar