Selasa, 30 Maret 2010

Filosofi Kung fu



Di Indonesia, Kung Fu bukan hanya seni bela diri. Di sini, seni olah tubuh, emosi dan tenaga dalam ini identik dengan kemampuan dan kehebatan pendekar negeri China.

Namun, menurut The Seng Kauw (43), satu dari 16 pelatih Perguruan Internasional Shaolin Indonesia Makassar, kung fu adalah seni mengelola emosi. "Kungfu bukan bukan untuk menaklukan lawan dengan jurus-jurus," katanya kepada Tribun saat ditemui di pedepokan sekaligus, Jl Timor, Makassar. Lokasi pelatihan kungfu ada di GTC Tanjung Bunga Makassar.

Sung Kuaw yang juga akrab disapa Hendrik Tedjo ini, lalu menceritakan filosofi seni bela diri Shaolin Kungfu yang seumur dengan kebudayaan adiluhung China daratan.

"Kung fu itu, bagaimana menaklukan diri sendiri dengan jalan sabar, cegah emosi, hilangkan rasa ambisi, buang rasa keserakahan, kebodohan dan kemiskinan," kata pria kelahiran 2 September 1966 dan akrab disapa The Seng Kauw ini lahir dan besar di Kota Makassar.

Hendrik sendiri adalah alumnus Akademi Accupuncture dan Accupressure yang kini berprofesi selain sebagai pelatih Kung Fu. Di sela-sela "profesi" itu, dia juga dikenal sebagai ahli terapis pijat dan urut kesehatan.

Untuk Menemukan Diri Sendiri
Kalau kita mendalami Kung Fu, yang utama adalah disiplin diri secara lahiriah dan batiniah. Makan harus cukup, tidurpun demikian. Latihan setiap hari pada pukul 07.00 atau jangan lewat pukul 10.00. Kalau punya kesibukan, boleh dialihkan sekitar pukul 19.00 atau jangan lewat pukul 22.00.Sehabis latihan, sebaiknya minum minuman bergizi atau paling tidak teh hangat.

Untuk menjadi profesional, tidak boleh bosan latihan. Artinya tiada hari tanpa latihan. Tanda tingkatan yang ada dalam perguruan Shaolin Kungfu ada tiga. (lihat Tingkatan di Kungfu)

Seperti simbol kuno warga suku Tionghoa yang mengenal istilah Yin dan Yang. Dimana pada hakekatnya kehidupan manusia, walau dirinya telah putih bersih, pasti di dalamnya tetap ada bintik hitam, yang sebaliknya walau kehidupannya hitam pekah, pasti pula ada bintik putih di dalamnya. Karena yang mengetahui diri kita, adalah diri kita sendiri bersama Sang Maha Pencipta.

Sabuk coklat
Menandakan pemula sebagai simbol warna tanah. Perhatikan kondisi keberadaan tanah, walau dicangkul, dilinggis, dibuangi kotoran dan dikencingi, tanah tidak pernah beraksi karena sifat sabarnya. Akan tetapi jangan coba-coba, jika tanah marah, akan mengakibatkan bencana besar, longsor dan lainnya.

Sabuk Merah
Merah bukan hanya sebagai simbol berani, melainkan simbol terang seperti merahnya matahari, disaat matahari bersinar maka segala aktivitaspun lancar sehingga manusia dapat bahagia, makmur dan sentosa. Dan kalaupun ketiganya telah didapatkan dalam diri kita sendiri, jangan lupa berbagi kepada orang lain, paling tidak curahkan cinta kasih kepadanya, siapapun orangnya.

Sabuk hitam
Menandakan kematangan, kematangan bukan berarti tertinggi. Semakin tinggi ilmu pengetahuan yang dipelajari, semakin kita akan merasakan tidak ada apa-apanya diri kita. Seperti warna hitam yang gelap, sebagai simbol proses pencarian jati diri untuk tetap belajar dan belajar sampai mati, karena kalau ada gelap, pasti ada terang. (mda)

tribun-timur.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar