Jumat, 05 Maret 2010

Setia dengan Bunga Potong


Dua puluh tahun menjadi petani bunga, merasakan pasang surut bisnis ini, Muhammad Abduh (45) makin nyaman sebagai petani. Jadi petani bunga itu enak makan, katanya.

Yang dimaksud petani asal Ciawi, Kabupaten Bogor, yang akrab dipanggil Duduh ini, hidup menjadi petani bunga itu enak, tiap hari menunggu pohon tumbuh. Dan alangkah bahagianya jika bunga mekar. Hidupnya tidak jauh dari tanaman hijau, semilir angin yang sejuk, dan harapan akan datangnya rezeki jika kuncup-kuncup bunga bermekaran.

Ada empat jenis tanaman hias yang ditanam Duduh, yakni bunga jengger ayam, bunga balon, daun silver dolar, dan bunga biji gandum. Duduh menjual bunga dalam bentuk ikatan, satu ikat ada sepuluh batang. Harga satu ikat bunga antara Rp 4.000 dan Rp 8.000. Dalam sebulan, permintaan bunga dari floris serta pedagang bunga di pasar bunga Rawa Belong, Jakarta Barat, mencapai 800 ikat. Pernah suatu waktu ia menjual 1.200 ikat sebulan.

Untuk pasar lokal, Saung Mirwan mengirim 3.000-3.500 potong bunga chrysanthemum atau seruni dan 1.000-2.000 bunga dalam pot per minggu. Bunga dikirim ke floris-floris atau Toko Bunga, supermarket, serta dekorator ruangan di Jakarta.

Selalu ada pasar

Dari wilayah hulu, aliran distribusi bunga sampai ke pedagang bunga dan floris sebelum sampai ke muara alias jatuh ke tangan konsumen. Selama bertahun-tahun berbisnis bunga, para pedagang pernah mengalami rugi, lalu untung, rugi lagi, untuk lebih banyak, begitulah. Banyak yang setia di bisnis ini.

Frieda Sutarko (60), pemilik Toko Bunga ”Prada” di Intercon Plaza, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, telah menjadi floris sejak 25 tahun lalu dan sampai sekarang tetap seorang floris. ”Mulanya hobi, lama-lama jadi usaha. Usaha kalau dimulai dari sebuah kecintaan biasanya akan bertahan,” kata floris yang juga membuka usaha di rumahnya di seputaran Kebon Jeruk.

Frieda mulanya belajar merangkai dari kursus merangkai bunga di Jakarta. Ia lantas kerap mengikuti seminar dan pelatihan merangkai bunga yang mendatangkan guru dari luar negeri, seperti Hongkong, Taiwan, Australia, Jerman, Belanda, dan Inggris. ”Ilmu saya ini campuran Asia dan Eropa. Karena itu, saya selalu mencampur berbagai gaya menjadi satu rangkaian baru yang kreatif. Saya selalu mengikuti tren dunia agar tidak ketinggalan zaman,” ujarnya.

Sejak awal membuka usaha Toko Bunga, tidak ada kesulitan berarti meraup pelanggan. Zaman Orde Baru adalah masa kejayaannya. Banyak orang memesan bunga, mulai dari pesta pernikahan hingga parsel waktu lebaran. Dalam sehari, sekitar 20 rangkaian bisa dipesan. Itu pun masih tergolong sepi.

Para pelanggan Frieda adalah kalangan menengah ke atas. Ia mematok harga mulai Rp 400.000 per rangkaian hingga berapa rupiah pun bergantung pada pesanan. Untuk bunga impor, seperti tulip, mawar, hydrangea (hortensia), dan symbidium (katalia), ia dipasok oleh importir.

cetak.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar